Hari ini anda pengunjung yang ke :

Senin, 04 Mei 2009

Suku Laut Tergantung Hutan Bakau



TANJUNGPINANG (BP) – Suku Laut yang biasa disebut orang sampan di Lingga sangat tergantung dengan hutan bakau. Selain menangkap ikan di laut, orang sampan menebang kayu bakau dan dijual kepada pemilik dapur arang.
Warga Kabupaten Lingga, Maharan menyebutkan, namun kini pemerintah melarang mengeksploitasi hutan bakau. Orang sampan sepertinya kehilangan lahan mencari nakah.


”Kondisi mereka memprihatinkan, karena hasil laut tidak dapat diandalkan lagi untuk keperluan hidup,” ujar Maharan yang baru mengunjungi perkampungan Suku Laut di Desa Kelumu Kecamatan Lingga, Selasa (24/3).
Di sana ada sekitar 40 Kepala Keluarga (KK) Suku Laut. Diperkirakan, mereka sudah bermukim sejak puluhan tahun lalu. Pada pemukiman itu terdapat satu unit rumah milik warga Tionghoa yang sekaligus sebagai pemilik dapur arang.
Selama ini, dapur arang milik warga Tionghoa itu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Suku Laut.


Karena untuk keperluan kayu bakau sebagai bahan baku arang, tauke itu memang mengandalkan orang Suku Laut untuk menebangnya.


Kini sudah dua tahun dapur arang itu tutup, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat menebang hutan bakau.


Hal sama dikatakan warga Kabupaten Lingga lainnya, Talib. Menurut lelaki asal Kecamatan Senayang ini, setiap ada pabrik arang memang ada rumah orang Suku Laut.


Di samping itu, Orang Sampan ini termasuk pekerja keras dan patuh dengan majikan atau tauke. Dengan karakter orang Suku Laut ini, para tauke tidak perlu menyediakan uang tunai untuk membayar upah.
Tapi cukup menyediakan bahan makanan seperti beras, gula, kopi, dan rokok.


”Sifat orang Suku Laut bekerja untuk makan. Jadi sebelum masuk hutan menebang kayu, mereka tidak perlu meminjam uang dengan tauke, tapi cukup mengambil atau berutang bahan makanan. Dua tiga hari setelah itu pergi lagi ke rumah tauke untuk mengambil bahan makanan. Utang Orang Sampan kepada tauke ini tidak pernah habis. Kini, dengan tidak dapat menebang kayu bakau, mereka sulit mengambil bahan makanan ke tauke,” kata Talib. (aji)

Sabtu, 02 Mei 2009

Sekilas "Si Fosil Hidup" Ikan Coelacanth

Kamis, 30 April 2009
KOMPAS.com — Hidup di bumi sejak era Devonia sekitar 380 juta tahun silam dan tidak berevolusi. Ini lebih tua dari dinosaurus (200 juta tahun silam).

nationalgeographic.com
Ikan Raja Laut atau Coelacanth

Di dunia ada dua spesies (Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis). Spesies L. chalumnae ditemukan pertama kali di Kepulauan Komoro, Afrika, tahun 1938. Spesies L. menadoensis ditemukan pertama di Manado, Sulut, tahun 1998.

Para ahli menduga coelacanth sudah punah sejak 10 juta tahun silam. Coelacanth ditemukan di Benua Atrika, yakni Kenya, Tanzania, Komoro, Mozambik, Madagaskar, dan Afrika Selatan, serta Indonesia (Tolitoli di Sulawesi Tengah, dan Manado serta Bunaken di Sulut).

Ikan ini hidup pada kedalaman 150-200 meter pada suhu 12-18 derajat celsius di relung-relung goa batuan lava. Merupakan predator yang karnivor dengan memangsa ikan-ikan kecil pada malam hari.

Coelacanth ditempatkan sejajar dengan jenis ikan yang bernapas dengan paru-paru (lungfish) dan amfibi primitif pada pohon keluarga ikan-ikan bertulang. Telur coelacanth menetas di dalam perut, tetapi bukan tergolong mamalia laut.

Masih banyak hal belum diketahui mengenai ikan ini karena teramat langka. Struktur tubuhnya memiliki sirip perut (pectoral), sirip dada (pelvic), anal dan punggung yang menjuntai seperti tangan manusia. Panjangnya bisa mencapai 1,5 meter dengan berat 40 kg.

Sumber: Aquamarine Fukushima


Sumber : Kompas Cetak

SALAH SIAPA, MANUSIA ATAU HARIMAU???


PEKANBARU, KOMPAS.com - Berdasarkan data yang dihimpun dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Eyes on The Forrest (EoF) diketahui sebanyak 55 orang di Provinsi Riau tewas akibat diterkam harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dalam dua belas tahun terakhir.

"Konflik antara harimau dan manusia ini juga telah merenggut sekitar 15 satwa berbulu belang tersebut," kata Direktur Program Kehutanan WWF Indonesia Ian Kosasih di Pekanbaru, Jumat (1/5).

Ian menjelaskan, konflik ini sebagian besar muncul karena habitat alami harimau rusak akibat berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan, permukiman dan hak konsesi perusahaan kehutanan. Berdasarkan data dari EoF diketahui bahwa Sejak tahun 1985 hingga 1997, kawasan tutupan hutan di Riau hanya sekitar 48 persen atau tinggal separuhnya saja.

"Kondisi tersebut mengakibatkan meningkatkan konflik harimau dan manusia karena habitat si belang semakin berkurang," katanya.

Ian juga menambahkan populasi harimau Sumatera di Riau pada saat ini diperkirakan hanya sekitar 400 ekor saja. Menurut aktivis lingkungan ini, langkanya hewan jenis tersebut membuat setiap ekor kematiannya menjadi sebuah tragedi awal kepunahan satwa yang dilindungi itu.

Hutan Senepis di Riau menjadi kawasan dengan intensitas konflik antara harimau dan manusia tertinggi. "Setidaknya 147 dari 242 kasus atau 60 persen dari total kasus yang ada telah terjadi di wilayah Riau," katanya.