Hari ini anda pengunjung yang ke :

Jumat, 05 Februari 2010

Banjir Disebabkan Konversi Hutan Yang Berlebihan

Jambi (ANTARA News) - Bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah khususnya di Provinsi Jambi lebih banyak disebabkan oleh konversi hutan yang berlebihan, kata koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) cabang Jambi Arif Munandar.

Ditemui di Jambi, Jumat, Arif mengatakan, bencana banjir di Provinsi Jambi selain intensitasnya bertambah setiap tahun, luasan daerah banjir juga semakin meluas.

Sebelum tahun 2000-an bencana banjir sangat jarang terjadi dan hanya terjadi di beberapa daerah rendah atau wilayah yang berada di sepanjang aliran sungai.

"Namun saat ini daerah bencana banjir semakin meluas dan menjadi bencana tahunan," ujarnya.

Menurut dia, konversi hutan menjadi daerah perkebunan ataupun hutan produksi menyebabkan hutan sebagai daerah resapan utama menjadi hilang.

Hal tersebut didukung oleh iklim dunia yang tidak menentu menyebabkan bencana banjir diperkirakan akan terus terjadi dan bahkan akan semakin meluas.

Arif menyebutkan, salah satu faktor teknis adalah pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan pengusahaan hutan yang tidak diiringi oleh seleksi ketat untuk menjaga kelestarian hutan.

"Kebijakan pemerintah saat ini belum sesuai dengan pola tata ruang yang ada. Meski secara tertulis penyusunan tata ruang sudah bagus, pada prakteknya hal itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada," ujarnya.

Berdasarkan analisis Walhi, pada era 1990-an hutan di Provinsi Jambi mencapai luas 2,2 juta hektare. Setiap tahun jumlah tersebut mengalami penyusutan seluas 99.000 hektare, baik rusak oleh konversi, pembalakan liar maupun kerusakan hutan akibat alam.

Diperkirakan saat ini hutan di Provinsi Jambi hanya tersisa 500.000 hektare, itupun sudah mengalami kerusakan yang masuk kategori parah.

"Yang paling memprihatinkan kerusakan justru banyak terjadi di daerah hulu, sehingga kerusakan tersebut sangat besar akibatnya terhadap bencana banjir," katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan akan upaya nyata dari pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan khusus dalam penanggulangan kerusakan hutan, sehingga akibat rusaknya hutan tidak berdampak pada bencana banjir maupun bencana alam lainnya seperti kebakaran hutan.

"Salah satu langkah penting yakni mengeluarkan aturan tata ruang yang jelas. Pemerintah harus transparan, sebab mulai tahun 2010 ini tata ruang daerah sudah mulai disusun. Tidak hanya itu, jika aturan telah ada hal itu juga harus benar-benar diterapkan," tambah Arif.

Sumber:
http://www.antaranews.com/berita/1263555673/walhi-banjir-disebabkan-konversi-hutan-yang-berlebihan

Kamis, 04 Februari 2010

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.
Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.
Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.
Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.
Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.
Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.
Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.
Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.
Terakhir, di Afrika, peneliti CIFOR bersama dengan mitra kerjanya mempelajari dampak fragmentasi terhadap keanekaragaman genetik. Kajian ini dilakukan di sebuah kawasan yang terdiri dari 22 fragment riverine sebuah bentang alam yang dibuka untuk areal utama peternakan. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah fragmentasi ini berdampak merugikan bagi mekanisme kerja serangga penyerbuk serta akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap keanekaragaman genetik empat jenis pohon penting.

Sumber:
www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Biodiversity.html